A. Puisi Zawawi Imron
ZIKIR
alif, alif, alifalifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan terang
hingga aku berkesiur
pada angin kecil akdir-mu
hompimpah hidupku, hompimpah matiku,
hompimpah nasibku, hompimpah, hompimpah,
hompimpah!
kugali hatiku dengan linggis alifmu
hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
mengerang menyebut alifmu
alif, alif, alif!
alifmu yang satu
tegak di mana-mana
1983
MADURA AKULAH DARAHMU
di atasmu, bongkahan batu yang bisutidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
si sini
perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-madura, akulah darahmu.
SUNGAI KECIL
sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?antara cirebon dan purwakerta atau hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-
daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di manakah
negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita kutembangkan buat kekasihku.
1980
PERJALANAN LAUT
dalam begini, meski bisa kutebak kabut yang besok akanmeledak, renyai musim labuh akan menunggu kuncup bersujud dalam
kelopak.
hai, camar-camar yang nakal, kenalkah kalian pada merpati
uutih milik pertapa?
bisik-bisik berangkat ke dalam gua, tapi gua itu sepi, ular-
ular pada bernyanyi menuju laut karena wangsit ternyata boneka
cantik yang berisikan bom waktu.
ketika kutulis sajak ini aku tersenyum sendiri karena gagal
meniru teriak gagak.
lampu-lampu memainkan laut, malam memainkan api, jiwaku yang
berpancang bulan sabit kadang mengambang atas pasang dan
tenggelam dalam surut.
1978
B. Puisi WS Rendra
Kecoa Pembangunan
Salah dagang banyak hutang…….
Tata bukunya di tulis di awan…
Tata ekonominya ilmu bintang..
kecoa…kecoa…ke…co…a…..
Dengan senjata monopoli
Menjadi pencuri….
kecoa…kecoa… ke…co…a….
Dilindungi kekuasaan…
Merampok negeri ini….
Kecoa…kecoa…ke…co…a…
Ngimpi nglindur di sangka Pertumbuhan…
Hutang pribadi di anggap Hutang Bangsa…
Suara di bungkam agar Dosa Berkuasa…
Kecoa….kecoa… ke…co…a…
Stabilitas, stabilitas katanya…
Gangsir Bank…
Gangsir Bank, Kenyataannya….
Kecoa…kecoa…ke…co…a…
Keamanan, ketenangan katanya…
Marsinah terbunuh, petani di gusur, kenyataannya….
Kecoa Pembangunan,
Kecoa bangsa dan negara
Lebih berbahaya ketimbang raja singa
Lebih berbahaya ketimbang pelacuran
Kabut gelap masa depan,
Kemarau panjang bagi harapan
Kecoa…kecoa… ke…co…a….
Ngakunya konglomerat
Nyatanya macan kandang….
Ngakunya bisa dagang,
Nyatanya banyak hutang
Kecoa…kecoa…ke..co…a…
Paspornya empat,
Kata buku dua versi…
Katanya pemerataan,
Nyatanya monopoli
kecoa…kecoa…ke…co..a…
Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia
Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan
Amarah merajalela tanpa alamat
Kelakuan muncul dari sampah kehidupan
Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah
O, zaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan
Kitab undang-undang tergeletak di selokan
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari Ratu Adil!
Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya
Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.
(Sajak ini dibuat di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1998 dan
dibacakan Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998)
Maskumambang
Kabut fajar menyusup dengan perlahan
bunga Bintaro berguguran di halaman perpustakaan
di tepi kolam, di dekat rumpun keladi
aku duduk diatas batu melelehkan airmata
Cucu-cucuku
zaman macam apa,
peradaban macam apa
yang akan kami wariskan kepada kalian.
Jiwaku menyanyikan lagu maskumambang
kami adalah angkatan pongah
besar pasak dari tiang.
kami tidak mampu membuat rencana menghadapi masa depan,
karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu
dan tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini
maka rencana masa depan hanyalah spekulasi, keinginan, dan angan-angan
Cucu-cucuku
negara terlanda gelombang zaman edan
cita-cita kebajikan terhempas batu
lesu dipangku batu
tetapi aku keras bertahan
mendekap akal sehat dan suara jiwa
biarpun tercampak diselokan zaman
Bangsa kita kini
seperti dadu terperangkap dalam kaleng hutang
yang dikocok-kocok oleh bangsa adi kuasa
tanpa kita bisa melawannya
semuanya terjadi atas nama pembangunan
yang mencontoh tatanan pembangunan di zaman penjajahan
Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum
juga mencontoh tatanan penjajahan
menyebabkan rakyat dan hukum hadir tanpa kedaulatan
Yang sah berdaulat hanya pemerintah dan partai politik
o comberan peradaban,
o martabat bangsa yang kini compang-camping
negara gaduh, bangsa rapuh
Kekuasaan kekerasan meraja lela
Pasar dibakar, kampung dibakar,
gubuk-gubuk gelandangan dibongkar
tanpa ada gantinya
semua atas nama tahayul pembangunan.
restoran dibakar, toko dibakar, gereja dibakar,
atas nama semangat agama yang berkobar
Apabila agama menjadi lencana politik
maka erosi agama pasti terjadi
karena politik tidak punya kepala,
tidak punya telinga, tidak punya hati,
politik hanya mengenal kalah dan menang
kawan dan lawan,
peradaban yang dangkal
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik
tidak boleh menjamah kemerdekaan iman dan akal
didalam daulat manusia
namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat
dan daulat hukum akal sehat
Matahari yang merayap naik dari ufuk timur
telah melampaui pohon dinding
udara yang ramah menyapa tubuhku
menyebarkan bau bawang yang digoreng di dapur
berdengung sepasang kumbang yang bersenggama
C. Puisi Chairil Anwar
Aku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Aku Berkaca
Siapa punya ?
Kudengar seru menderu
dalam hatiku
Apa hanya angin lalu ?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…….!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal ………….!!
Selamat tinggal …………….!
Cerita Buat Dien Tamaela
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut
Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama
Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!
Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…
Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
Cintaku Jauh Di Pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya
Di air yang tenang, di angin mendayu
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Derai Derai Cemara
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Diponegoro
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
0 Response to "PUISI"
Posting Komentar